Asal Usul Orang Tungkal Ulu
Nama Tungkal Ulu yang kini menjadi nama salah satu kecamatan dalam Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah istilah yang lebih luas yaitu meliputi pengertian Tungkal Ulu secara etnik dan kultural yang terdiri dari Kecamatan Tungkal Ulu, Kecamatan Merlu......ng dan sebagian kecil Kecamatan Pengabuan.
Kapan pertama sekali istilah Tungkal Ulu, sulit dicari referensi yang dapat mendukungnya secara ilmiah. Namun, banyak pihak yang meyakini bahwa Tungkal pada masa lalu tidaklah terbagi antara Tungkal Ulu dan Tungkal Ilir sekarang. Istilah Tungkal pada masa lalu adalah juga untuk menyebut Tungkal Ulu sekarang, mengingat sejarah kedatangan orang ke Tungkal Ilir dapat diketahui dengan jelas. Jika kedatangan penduduk di Tungkal Ilir sekarang, dapat diketahui, maka kapan datangnya penduduk di Tungkal Ulu sulit dicari kebenarannya secara ilmiah. Suku-suku yang kini mendiami wilayah Tungkal Ilir seperti suku Melayu Timur, Palembang, Banjar, Jawa, dan Bugis dapat dengan tegas menyebutkan dari mana mereka berasal. Tidak demikian halnya dengan masyarakat Melayu yang mendiami wilayah Kecamatan Merlung, Tungkal Ulu dan sebagian kecil Kecamatan Pengabuan.
Oleh karena itu diyakini pula bahwa orang-orang pertama yang datang di daerah yang kini bernama Tungkal Ulu jauh lebih dahulu dari ketika daerah ini bernama Tungkal Ulu. Banyak pendapat dan versi yang berkembang tentang nama Tungkal Ulu.
Versi pertama adalah bahwa istilah Tungkal Ulu digunakan sebagai padanan Tungkal Ilir yaitu nama Marga yang beribukota di Kuala Tungkal. Dusun-dusun yang berada di sekitar Kuala Tungkal dimasukkan dalam wilayah Marga Tungkal Ilir yaitu dusun-dusun yang berada di ilir Sungai Pengabuan. Sedangkan dusun-dusun yang berada di ulu Sungai Pengabuan dimasukkan dalam satu Marga yang bernama marga Tungkal Ulu dengan ibukota di Merlung.
Dalam istilah geografis, istilah Kuala atau Muara digunakan untuk nama daerah yang berada di kuala atau muara sungai yang yang mengalirinya. Misalnya Muara Bulian, adalah muaranya Sungai Batang Bulian, Muara Tembesi adalah muaranya Sungai Batang Tembesi. Kuala Dasal adalah muaranya Sungai Dasal. Meski demikian, terdapat juga penamaan yang tidak ada kaitan dengan nama sungai yang mengalirinya sebut saja Kuala Lumpur, Kuala Simpang, Muara Jambi dan lain-lain.
Menurut sebuah sumber seperti yang diceritakan Syafei Maturidi , mantan Pasirah Marga Tungkal Ulu istilah Kuala Tungkal tidak menunjukkan bahwa Sungai yang mengalirinya bernama sungai Tungkal. Nama sungainya tetaplah Sungai Pengabuan, adapun mengapa nama kuala Sungai Pengabuan dinamakan Kuala Tungkal tidak Kuala Pengabuan karena muara atau kuala sungai Pengabuan hanya satu atau tunggal. Muara atau Kuala sungai-sungai besar yang mengalir di Pulau Sumatera yang bermuara di pantai timur Sumatera pada umumnya bercabang.
Karena itu, Kuala Sungai Pengabuan disebut Kuala Tunggal, atau kuala yang satu. Istilah Tunggal berubah Tungkal oleh perubahan dialek. Jika pendapat tersebut benar adanya, dapat disimpulkan bahwa nama Kuala Tungkal lebih dulu dikenal, dan kehidupan masyarakat di Kuala Tungkal lebih dahulu daripada masyarakat Tungkal Ulu. Ini artinya bertolak belakang dengan pendapat di atas. Dengan demikian, pendapat bahwa nama Tungkal berasal dari kata “Tunggal” memiliki dasar yang lemah.
Versi kedua, adalah berdasarkan tulisan HA Rivai , seorang tokoh cendekiawan Tungkal Ulu yang menulis Tambo Tungkal Ulu. Tulisan yang bercerita tentang apa yang dikisahkan dalam Tambo Tungkal Ulu juga diceritakan A Mukti Nasrudin dalam makalahnya berjudul Jambi dalam Sejarah Nusantara 692-1949. Menurut kedua sumber ini, orang-orang Tungkal Ulu sekarang jauh lebih dahulu mendiami daerah di ulu Sungai Pengabuan ini. Orang-orang Tungkal Ulu diyakini berasal dari Pagaruyung bersamaan dengan eksodusnya orang-orang Pagaruyung ke daerah lain dalam Propinsi Jambi sekarang. Bukti kultural dan hukum adat menunjukkan bahwa pendapat tersebut ada benarnya. Terdapat sejumlah persamaan dalam hukum adat dan bahasa.
Apa yang dituliskan HA Rivai dalam Tambo Tungkal Ulu, adalah berdasarkan pertemuan para Penghulu Kepala Dusun, Rio, dan Demong dalam Marga Tungkal Ulu yang diadakan pada tahun 1968 di Pelabuhan Dagang. Di antara tokoh-tokoh yang hadir waktu itu, terdapat nama Rio Muhammad Aji dari Lubuk Bernai, Hamzah bin H Tayib dari Merlung, Rio Sigeh dari Lubuk Kambing. Penghulu Zulkifli dari Penyabungan, Raden Ibrahim dari Dusun Mudo, dan HA Rivai sendiri mewakili Pelabuhan Dagang.
Orang-orang Minangkabau yang eksodus ke Tungkal Ulu sekarang bersamaan dengan mereka yang juga mendiami sejumlah wilayah lain di Jambi dalam catatan Nasrudin adalah anak keturunan Adityawarman, Raja Melayu yang terkenal yang mendirikan Kerajaan Pagaruyung yang dipimpin oleh seorang Menteri bernama Datuk Malin Andiko Srimaharajo. Karena itulah mereka yang pertama kali kemudian mendiami wilayah Tungkal Ulu sekarang disebut juga Suku Mandaliko. Jika tesis ini benar adanya, maka peristiwa eksodusnya orang Minangkabau ke Tungkal Ulu diperkirakan terjadi pada abad ke-15 dan orang-orang yang datang dari Minangkabau tersebut telah memeluk Agama Islam.
Hanya saja, rombongan orang-orang Minangkabau yang datang ke Tungkal mendapati bahwa daerah ini telah pula berpenghuni manusia diantaranya di Merlung, Tanjung Paku dan Suban, yaitu masyarakat peninggalan Kerajaan Kuntala. Mereka telah pula mempunyai struktur pemerintahan yang dikepalai seorang Demong.
Pada mulanya, rakyat Kedemongan tidak mau tunduk kepada pendatang asal Minangkabau, tapi lama kelamaan mereka sepakat untuk berbaur menjadi masyarakat yang satu, dengan catatan tidak semua hukum adat Minangkabau dapat diterapkan di Tungkal.
Struktur pemerintahan pada masa itu tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan di Minangkabau negeri asal Suku Mandaliko. Wilayah Tungkal Ulu dibagi dalam tiga areal atau disebut ‘suku nan tigo. Tiga suku yang dimaksud adalah anak-anaknya yang mendiami tiga wilayah masing-masing, Lubuk Kambing, Lubuk Bernai (Tanjung Genting) dan Rantau Benar sekarang. Pada perkembangannya masyarakat perantauan asal Minangkabau berbaur dengan masyarakat Melayu asal Johor menjadi masyarakat Tungkal Ulu setelah Kerajaan Johor menaklukkan Tungkal. Yang memberi nama Tungkal adalah para bangsawan Johor yang tersesat dalam perjalanannya menuju Indragiri. Nama Tungkal diambil dari nama kayu yang banyak ditemui di kuala sungai Pengabuan.
Sekembalinya mereka ke Johor, Sultan memerintahkan untuk mendatangi kembali Sungai Tungkal untuk melakukan invasi. Invasi kesultanan Johor berhasil dilakukan dengan damai. Para petinggi Johor dan Minang akhirnya sepakat membagi anak keturunan Datuk Mandaliko dalam beberapa suku, yaitu Suku Benaluh yang pemimpinya bergelar Paduko, Suku Lingkis yang pemimpinya bergelar Rio Singokarti, suku Runai Air Talun yang pemimpinnya bergelar Rio Manaleko Eleng, serta suku Dusun Baru yang pemimpinnya bergelar Rio Manaleko Panai.
Selanjutnya, terjadi perubahan dalam struktur pemerintahan di negeri Tungkal. Sultan Johor mengangkat anaknya menjadi kepala Pemerintahan di Tungkal dengan gelar Orang Kayo Raja Depati. Bersama Datuk Mandaliko mereka membentuk Pemerintahan Biduando nan Empat yaitu :
- Pemerintahan Lubuk Petai yang dikepalai Orang Kayo Rajo Laksamana,
- Pemerintahan Suku Teberau yang dikepalai Orang Kayo Depati,
- Pemerintahan Suku Sungai Landui (Mandah) yang dikepalai Orang Kayo Lamsasti,
- Pemerintahan Suku Buluh Munti, yang dikepalai Datuk Bandar.
Pada perkembangannya, Sultan Johor melepaskan kekuasaanya kepada Tungkal, dan anak keturunannya banyak melakukan eksodus ke daerah ilir dan mendiami daerah yang kini dikenal dengan Desa Senyerang, Sungai Kayu Aro, dan Teluk Ketapang. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika syiar agama Islam di Senyerang lebih semarak. Menurut yang diceritakan Rajo Bujang dkk, Sultan Johor membebaskan Tungkal dari kewajiban mengirimkan upeti atas kecerdasan Lamsasti, anak yang ditemukan Datuk Andiko dalam perahu. Kemungkinan lain, pembebasan itu dapat pula disebabkan menurunnya kekuasaan Sultan Johor yang tunduk di bawah pengaruh Malaka.
Nama Pengabuan sendiri diberikan oleh orang-orang Minangkabau yang berarti tempat membuang abu (jenazah). Jika ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa orang-orang Tungkal Ulu masa dahulu beragama Hindu atau Budha. Pendapat ini tentu saja masih menimbulkan pertanyaan yang dapat diperdebatkan.
Pertanyaan itu misalnya adalah, jika memang berasal dari Minangkabau, mengapa nama-nama dusun yang diyakini lebih dahulu dari nama Tungkal Ulu sendiri tidak berbahasa Minang. Nama Lubuk Kambing, Rantau Benar, Lubuk Bernai, Penyabungan, Tanjung Paku, Pulau Pauh, Taman Rajo, dan seterusnya menunjukkan nama- nama Melayu.
Dalam Buku Tambo Alam Minangkabau yang ditulis oleh Datuk Tuah , tidak disebutkan adanya hubungan antara Minangkabau dengan Tungkal. Yang paling mendekati adanya hubungan Tungkal dengan Minangkabau adalah diceritakannya hubungan antara Minangkabau dengan Jambi dan hubungan Minangkabau dengan Suku Talang Mamak yang berdiam di wilayah Retih dan Kuantan Riau, dimana diakui bahwa orang-orang Minangkabau memang pernah melakukan eksodus ke negeri orang Talang Mamak..
Dalam hal ini, dapatlah ditarik suatu gambaran bahwa Orang Talang Mamak sebagai penduduk asli Riau mendiami wilayah Retih dan Kuantan memiliki hubungan dengan orang Tungkal. Dalam batas-batas wilayah negeri Datuk Mandaliko disebutkan sebagai berikut :
“ dari labing Batu Betingkap (Lubuk Kambing sekarang) sampai Tunggul nan Belepat menuju ke Bukit Merbau sebelah utara menuju ke Bukit Bakar (Sungai Ibul, dekat Lubuk Bernai, berbatasan dengan Tebo Ilir) meniti pematang Cindai Halus menuju Batu 68 melereng ke Batu 39-40, terus menuju Ulu Mendaharo Kiri mengalir sampai ke Muara Mendaharo menuju Air Alas Alang Tigo Pulau Berhalo ke Barat masuk Kualo Sungai kerang seberang tanjung Labu menuju Pulau Kijang. Sampai di Pulau Kijang bertemu kijang bertanduk emas dikejar sampai Sungai Gergaji (Retih) menuju Kualo Retih memudik Batang Retih sampai Selensen menuju Kualo Bubur, bergerak menuju Bukit Cundung (Retih) sebelah pematang Kulim. Dari Pematang Kulim menuju Suo-suo balik lagi ke Tunggul nan Belepat Labing Batu Betingkap.”
Dari batas-batas wilayah negeri Tungkal di atas, dapat diduga bahwa masuknya orang-orang Minangkabau ke Tungkal Ulu sekarang bukan melalui Tebo seperti yang selama ini dipercayai tetapi melalui Retih atau tepatnya lagi melalui negeri orang Talang Mamak. Kebenaran pendapat ini dapat dibuktikan dengan adanya hubungan kekerabatan antara orang-orang Tungkal Ulu dengan orang-orang Retih dan Kuantan. Selain adanya hubungan kekerabatan dengan kedua daerah di Riau ini, hubungan kekerabatan orang-orang Tungkal Ulu juga terjadi dengan orang-orang Johor.
Versi ketiga, terdapat pula pendapat meyakini nama Tungkal merupakan perubahan etimologis dari nama Kuntala, sebuah nama Kerajaan Budha yang banyak ditulis dalam sejarah. Dalam buku Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat seperti telah disebutkan di atas, disebutkan bahwa sebelum kedatangan orang-orang Pagaruyung ke Tungkal Ulu, beberapa dusun seperti Merlung, Tanjung Paku, dan Suban sudah berpenghuni yaitu masyarakat sisa-sisa Kerajaan Kuntala yang merupakan Kerajaan yang sudah berdiri sebelum Melayu dan Sriwijaya yang waktu itu merupakan daerah taklukan Kerajaan Singosari.
Dalam makalah yang berjudul Kerajaan Malayu Kuno Pra Sriwijaya yang ditulis oleh Prof. Dr. Sartono yang disajikan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, pada tahun 1992, disebutkan bahwa Kerajaan Kuntala terdapat di pantai timur Sumatera di abad ke 5-6. Dalam transliterasi China, Kuntala disebut Kuntal sebagaimana Sanjaya menjadi Sanjay. Dalam makalah tersebut dinyatakan bahwa Kerajaan Kuntala, Kantoli atau Kandali telah dikenal oleh Pemerintahan Kaisar Hsiau-Wu yang hidup pada tahun 459-464. Nama Kantoli juga disebut dalam masa pemerintahan Dinasti Ming pada tahun 1368-1644 sebagai kerajaan dagang yang besar.
Dalam makalah lain, Prof. Sukomono memberi catatan pada nama Pelabuhan Dagang yang dapat saja merupakan suatu kota pelabuhan pada masa Kerajaan Melayu Kuno jika dihubungkan dengan adanya kemungkinan pendangkalan air laut. Dalam makalah lainnya lagi, Uka Tjandrasasmita juga mengungkapkan :
“ Pelabuhan-pelabuhan lainnya yang ada di DAS Batanghari seperti di Muara Tebo, Muara tembesi, dan Pelabuhan Dagang di hulu Sungai Tungkal tidak dapat pula diabaikan pula sebagai tempat-tempat pengumpul barang hasil dari daerah pedalaman pula.”
Terlepas dari soal Pelabuhan Dagang, kemungkinan terjadinya pendangkalan air laut dapat diterima. Dalam wawancara penulis dengan Syafei Maturidi, dikatakan bahwa semasa beliau menjabat Pasirah Marga Tungkal Ulu, ketika dilakukan penggalian tanah oleh PT Heeching TII di Taman Raja, didapati bekas-bekas kulit kerang dalam jumlah sangat banyak, hal mana membawa kita pada kesimpulan bahwa Taman Raja dahulunya adalah kuala Sungai Pengabuan (Tungkal).
Bukti lainnya yang hingga kini belum banyak terungkap adalah mengenai keberadaan Air Terjun Pelang, yang berbentuk seperti kapal yang kini menjadi seperti batu kapal.
Jika versi terakhir ini adalah versi yang paling benar, maka kehadiran masyarakat Tungkal Ulu sekarang jauh lebih tua dari apa yang digambarkan pada versi pertama dan kedua di atas.
B. Dalam Wilayah Kesultanan Jambi
Menurut A Mukti Nasrudin, masyarakat Tungkal Ulu memang lebih dahulu mendiami daerah aliran Sungai Pengabuan. Barulah Tungkal Ilir didatangi oleh orang-orang Bajau dan Melayu asal Brunai. Pada masa kejayaan Kesultanan Jambi seiring dengan semakin berkurangnya kontrol Raja Johor atas Tungkal, tersiarlah kabar di Tanah Pilih (Kota Jambi sekarang) bahwa di daerah aliran sungai Pengabuan terdapat masyarakat suku Biduando. Sultan mengutus orang kepercayaan ke Tungkal Ulu supaya mengakui kekuasaan Sultan Jambi, dan ditolak. Akan tetapi sang utusan berhasil mendapat pengakuan dari orang-orang Melayu di Tungkal Ilir akan kekuasaan Sultan Jambi.
Pada utusan kedua yaitu Pangeran Hadi saudara Sultan Abdurahman Nazarudin (1855 s/d 1881), barulah Orang Tungkal mengakui kekuasaan
Melayu Jambi. Selanjutnya, Sultan Jambi mengangkat saudaranya Pangeran Kesumo sebagai wakil pemerintah di Tungkal Ulu.
Di Tungkal Ilir, Sultan Jambi bahkan mengutus Mantri Berangas yang kelak dikenal sebagai pendiri Kuala Tungkal. Mantri Berangas membangun komunikasi dan menjalin hubungan bahkan saling mengangkat saudara dengan suku Melayu yang diketuai Datuk Sumpeno, bersama-sama membangun Kuala Tungkal sebelum datangnya orang-orang Banjar, Bugis dan Jawa ke wilayah ini.
Dalam hal ini, terdapat suatu tanda tanya yang besar bagi penulis. Dalam makalah yang ditulis A Mukti Nasrudin seperti yang juga ditulis HA Rivai, Tungkal Ulu disebut sebagai daerah taklukan Sultan Johor, barulah kemudian ditaklukkan oleh Sultan Jambi pada sekitar abad ke-19, sementara di sisi lain dalam Catatan tentang Tahun-tahun Bersejarah Propinsi Jambi, disebutkan bahwa pada tahun 1630 (Abad ke-17), Sultan Jambi menolak menyerahkan Tungkal kepada Malaka . Itu berarti bahwa sebelum tahun 1630, Tungkal merupakan wilayah kesultanan Jambi, bukan wilayah Kesultanan Johor.
Jika dilakukan analisis atas dua pernyataan yang saling berbeda ini, maka kemungkinan bahwa Tungkal ditaklukkan Johor dapat didukung dengan kenyataan geografis dekatnya Tungkal dengan wilayah Kesultanan Johor melalui sarana perhubungan laut. Hubungan kekerabatan masyarakat Tungkal Ulu sekarang justru banyak terjalin dengan masyarakat Johor dan Riau, bukan dengan masyarakat Jambi. Sedangkan pemikiran yang dapat mendukung bahwa Tungkal merupakan bagian dari Jambi, dapat dibenarkan jika melihat fakta sejarah bahwa Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sejak tahun 1500. Sungguh masuk akal jika dalam kurun waktu itu Sultan Jambi mengetahui keberadaan komunitas masyarakat di Tungkal Ulu.
Seakan menjawab kontroversi ini, Uka Tjandrasasmita mengutip Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental yang menceritakan keadaan pada masa kejayaan Sultan Demak sekitar tahun 1512-1515 bahwa Tungkal merupakan suatu negeri yang berdiri sendiri, akan tetapi berada di bawah Kerajaan Malaka.
“ Tanah Tongkal berbatasan di satu sisi dengan Indragiri dan di sisi lainnya dengan Jambi. Negeri ini tidak mempunyai raja dan juga mandarin. Negeri ini menurut ke Malaka sebagai pemberi upeti. Ini adalah negeri kecil. Negeri ini juga berbatasan dengan Minangkabau. Ia mempunyai barang-barang dagangan seperti barang-barang dagangan Indragiri, tetapi banyaknya tidak demikian. Ia cukup mempunyai bahan-bahan pangan untuk mereka sendiri dan untuk orang-orang lainnya. Di depan berhadapan dengan negeri ini ada pulau-pulau Calantiga.”
Di bagian lain Tome Pires menyebutkan bahwa pada masa itu Malaka menjadi pusat perdagangan berbagai bangsa. Bangsa-bangsa yang berkumpul antara lain : Orang-orang Muslim dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Rang Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Turki, Turkoman, Armenia Kristen, Gujarat, Bengal, Ghaul, Dabhol, Goa, dari Kerajaan Dekan, Malabar, dan Keling, pedagang-pedagang dari Orissa, Ceylon, Arakan, Pegu, Siam, orang-orang Kedah, orang-orang Malayu, orang Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Kocin, Cina, Dina, Lequeos, Brunei, Duceous, Tanjungpura, Laue, Banka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatta, Menangkabau, Siak, Arcua (Arkat), Aru, Bata, negeri Tanjung, Pase, Pedir, Maladiva.
Dari uraian-uraian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa Tungkal seperti yang diungkapkan Tomi Pires sebagai negeri yang tidak mempunyai Raja, adalah benar adanya. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis dalam Tambo Tungkal Ulu, seperti juga yang ditulis A Mukti Nasrudin dan Rajo Bujang dkk, bahwa pada masa itu di negeri Tungkal hanya ada seorang setingkat Wakil Pemerintah Johor yang mempunyai otonomi. Dikisahkan, atas sesuatu peristiwa yang membuat takjub Sultan yaitu kecerdasan Lamsasti anak yang ditemukan Datuk Andiko dalam perahu, Sultan Johor menganugrahkan kepada Datuk Andiko, penguasa Tungkal turunan Minangkabau untuk tidak lagi mengirimkan upeti kepada Johor. Dengan kata lain, sejak itu negeri Tungkal adalah negeri yang berdiri sendiri sampai datangnya utusan Pemerintah Sultan Jambi yang dipimpin oleh anak keturunan Datuk Andiko dan keturunan Johor (Suku Biduando) yang bergelar Orang Kayo. Negeri ini berada di bawah pengaruh Sultan Malaka, karena kemungkinan pada waktu itu, Johor sendiri sudah ditaklukkan oleh Malaka.
Selanjutnya, seperti digambarkan di atas, Tungkal menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Jambi tergambar dalam seloko adat tentang batas-batas wilayah adat Jambi yaitu Dari Ujung Jabung sampai Durian Batakuk Rajo, Dan sialang belantak besi sampai Bukit Tambun Tulang. Ujung Jabung maksudnya tepian pantai Selat Berhala sekarang, Durian Takuk Rajo yaitu daerah Tanjung Samalidu, Sialang Belantak Besi yaitu daerah Sitinjau Laut, dan Bukit Tambun Tulang yaitu Bukit Tiga Singkut.
Dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi , disebutkan bahwa wilayah administrasi Kerajaan Jambi meliputi Pucuk Jambi Sembilan Lurah, tiangnya Alam Rajo. Adapun lurah yang sembilan itu sebagaimana yang dikutip dari Kementerian Penerangan, Propinsi Sumatera Tengah meliputi :
- Batang Merangin,
- Batang Masumai,
- Batang Tabir,
- Batang Pelepat,
- Batang Senamat,
- Batang Tebo,
- Batang Bungo,
- Batang Juhuhan dan
- Batang Abuan Tungkal.
Di awal kekuasaan Belanda di Jambi, Sultan Thaha (1855-1904) bahkan mengutus salah seorang panglima perangnya bernama Raden Usman ke front IV Pertahanan Jambi yang meliputi Sungai Bengkal dan Tungkal Ulu. Raden Usman tewas sebagai ksatria di Merlung dan dimakamkan di Pelabuhan Dagang. Raden Mattahir pun pernah melakukan perjalanan dari melalui rute Jambi - Muara Tebo – Merlung Pelabuhan Dagang – Jambi dalam memperkuat pertahanan pasukan yang dipimpin Raden Usman menghadapi serangan Belanda.
C. Terbentuknya Marga Tungkal Ulu
Sebelum Sultan Taha naik tahta dan mendeklarasikan permusuhannnya dengan Belanda, Belanda sesungguhnya telah melakukan sejumlah perjanjian dengan Sultan Jambi yang melemahkan kewibawaan Sultan sendiri. Jadi, walaupun secara de facto Jambi belum jatuh ke tangan Belanda, Jambi berada dalam kontrol Belanda. Bentuk pemerintahan dalam Kesultanan Jambi tergambar dalam seloko adat :
“ Alam nan be-Rajo,
Rantau nan be-Jenang,
Negeri nan be-Batin,
Luhak nan be-Penghulu,
Kampung nan be-Tuo,
Rumah nan be-tengganai,
Daerah pemerintahan yang terendah adalah dusun, mempunyai kekayaan sendiri, tetapi tidak mempunyai hak penuh untuk bertindak, karena di bawah perlindungan daerah yang lebih tinggi seperti luhak, negeri dan rantau.
Setelah Jambi jatuh dalam taklukan Belanda, struktur pemerintahan disesuaikan dengan peraturan pemerintah Hindia Belanda. Namun disamping dibentuk struktur pemerintahan Hindia Belanda, Belanda juga tetap mengakui bentuk-bentuk pemerintahan asli masyarakat setempat, yang salah satunya adalah Marga.
Marga adalah bentuk pemerintahan yang berada di bawah Residen dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan Marga sendiri sesungguhnya tidak dikenal dalam struktur pemerintahan Melayu Jambi. Pemerintahan Marga yang aslinya dikenal dalam Kerajaan Palembang Darussalam digunakan juga di Jambi, ketika untuk pertama kali Jambi ditaklukkan Belanda dan dimasukkan dalam wilayah Keresidenan Palembang. Dalam struktur pemerintahan Sultan Jambi, Marga sederajat dengan Negeri yang dikepalai seorang Batin. Adapun alasan Belanda menyeragamkan bentuk pemerintahan dengan nama Marga selain karena alasan praktis untuk menyamakan dengan Palembang, adalah juga untuk menghilangkan perbedaan sebutan yang dalam kesultanan Jambi amat banyak.
Perubahan Struktur Pemerintahan Sultan menjadi Struktur Pemerintahan Hindia Belanda di Jambi dapat digambarkan dalam tabel berikut :
Tabel 1
Perbandingan Organ Pemerintahan Sultan, Hindia Belanda, dan
Republik Indonesia
Pemerintahan Sultan Pem. Hindia Belanda Pem. Sekarang
Raja/Sultan * Resident Gubernur
- Asisten Residen/Kepala Afdeling -
Jenang Kep.Onder Afdeling Bupati/Walikota
- Kep.Distrik/Wedana/Demang -
- Kep.Distrik/Ass.Wedana/Kecamatan Camat
Batin Marga -
Penghulu Kepala Dusun Kepala Desa
* Dalam menjalankan pemerintahan Sultan dibentu Kerapatan Patih Dalam dan Kerapatan Patih Luar
Pengakuan Belanda atas daerah yang otonom seperti Marga sejalan dengan politik Kolonial untuk memerintah dengan menggunakan kesatuan-kesatuan pemerintah asli dengan biaya dan usaha yang relatif ringan. Justru dengan pemanfaatan struktur pemerintahan yang asli ini menambah kewibawaan Pemerintah Belanda. Dengan kata lain, Belanda berusaha menjajah bangsa Indonesia dengan tangan Bangsa Indonesia sendiri.
Marga yang dimaksud adalah satu daerah hukum (Rechtsgebeied) yang dikepalai seorang kepala Marga yang disebut Pasirah yang dipilih melalui suatu pemilihan umum secara langsung. Adapun calon pasirah dipilih dari orang-orang yang ada hubungan darahnya dengan pemerintah adat selama ini yaitu garis keturunan lurus. Pada mulanya, pemilihan dilakukan dengan cara voting berdiri, berkumpul di hadapan calon yang dietujuinya yang sudah duduk di hadapan panitia pemilihan, berjarak antara satu dengan yang lainnya 10 m. Dalam perkembangannya, pemilihan dilakukan secara rahasia yaitu memasukkan semacam surat suara ke dalam kotak masing-masing.
Dalam sejarah Marga Tungkal Ulu, nama-nama yang pernah menjabat Pasirah Tungkal Ulu adalah sebagai berikut :
Tabel 2
Nama-nama Pasirah Tungkal Ulu
No. Tahun Nama
1. ….. - 1943 H. Dahlan
2. 1943-1949 MT Fahrudin
2. 1949- 1956 Daeng Ahmad
3. 1956-1964 A Zikwan Thaib
4. 1969-1974 Syafei Maturidi
5. 1974-1979 Adnan Ma’ruf
Sumber ; Syafei Ahmad.
Setelah ditetapkan calon yang memperoleh suara terbanyak, Pasirah dilantik oleh Residen sebagai pengganti Sultan. Dalam keadaan Marga Tungkal Ulu, kedudukan Pasirah pada masa itu dapat disepadankan dengan Wakil Pemerintah Sultan Jambi di Tungkal Ulu.
Tahun sejarah mulainya pemerintahan Marga adalah tahun 1904, ketika Sultan Taha wafat yang sekaligus merupakan tahun jatuhnya Jambi di bawah taklukan Belanda dan dimasukkan oleh Belanda dalam Keresidenan Palembang. Baru pada tahun 1906, Jambi dijadikan satu Residen yang dipimpin Resident OI Relfricht.
Namun demikian, Pemerintah Hindia Belanda secara resmi mengakui kedudukan Marga sebagai kesatuan adat yang berbadan hukum baru pada tahun 1938 melalui IGOB (Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesten) Stbl 1938 No. 490, Dalam IGOB (Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesten) Stbl 1938 no. 490, disebutkan bahwa Marga adalah kesatuan Pemerintah terendah dengan ketentuan sebagai berikut :
(1) Marga adalah masyarakat Hukum Adat yang berfungsi sebagai kesatuan wilayah Pemerintahan terdepan dalam rangka Pemerintah Hindia Belanda dan merupakan Badan Hukum Indonesia ;
(2) Marga berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat. Marga dapat mengadakan pungutan pajak dan mengadakan ketentuan-ketentuan tentang kerja badan dan cara penebusannya dengan uang ;
(3) Susunan pemerintah Marga, Kepala Marga dan Kepala kepala Adat lainnya ditentukan menurut Hukum Adat mengenai pemilihan dan pengangkatan serta pengesahan atau pengakuan oleh instansi Pemerintah yang ditunjuk untuk itu ;
(4) Pemerintah Marga didampingi Dewan Marga, yang membuat peraturan-peraturan dalam rangka kewenangan menurut Hukum Adat. Peraturan-peraturan Marga harus disahkan oleh instansi atasan sebelum berlaku dan diumumkan.
(5) Pemerintah Marga dapat menetapkan sanksi atas peraturannya, yaitu hukuman badan selama-lamanya 3 hari atau denda sebanyak-banyaknya F 10, (sepuluh gulden).
Bentuk dan struktur pemerintahan Marga ini kelak di kemudian hari mengilhami para pendiri Republik Indonesia Modern. Sebagaimana dikemukakan Hamid Attamimi dalam disertasinya berjudul Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Tan Malaka (1924), Bung Karno (1932) dan Bung Karno (1932) menghendaki bentuk pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan Republik, yang telah ada dalam wujud Nagari dan Desa. Nagari di Sumatera Barat dan Desa di Jawa sepadan dengan Marga di Sumatera Selatan dan Jambi.
Selanjutnya Marga difederasikan dalam Teritorial Inlandse Bestuur (setingkat Kabupaten sekarang tetapi tidak memiliki otonomi sebagaimana yang dimiliki Marga) atau disebut juga Onder Afgdeling yang dikepalai seorang Kontroler (Bangsa Belanda). Onder Afdeling membawahi kewedanaan/Distrik yang dikepalai seorang Demang/Wedana dengan dibantu seorang asisten Demang/Asisten Wedana (setingkat Camat sekarang) yang mengepalai suatu Onderdistrik. Perbedaan ketiga kesatuan pemerintah yang disebut terakhir adalah pada dua hal yaitu :
- Marga adalah bentuk pemerintahan asli oleh masyarakat sedang Onder Afdeling adalah bentukan oleh Pemerintah Hindia Belanda ;
- Marga memiliki otonomi, sedang Onder afdeling sampai onderdistrik semata-mata wilayah administrasi.
Otonomi yang penting bagi pemerintahan marga salah satunya terletak pada otonomi keuangan. Adapun sumber keuangan Marga sebagaimana diterangkan Amrah Muslimin adalah :
1. Pajak Marga ;
2. Sewa Lebak Lebung
3. Sewa bumi,
4. Izin mendirikan rumah/bangunan,
5. Hasil Kerikil/pasir,
6. Sewa Los/kalangan,
7. Hasil hutan/bea kayu,
8. Pelayanan kawin,
9. Pas membawa hewan kaki empat besar
10. dan lain-lain.
Dana dari sumber-sumber penghasilan itu dipakai untuk membiayai urusan-urusan pemerintahan marga antara lain membayar gaji Kepala marga beserta Pegawainya.
Selain di bidang keuangan, Marga juga mempunyai otonomi untuk :
- kewenangan peradilan,
- kewenangan kepolisian,
- kewenangan hak ulayat.
Oleh karena itu, pada masa ini dikenal sebagai kejayaan ekonomi Tungkal Ulu. Dengan hasil bumi yang melimpah dan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, masyarakat Tungkal Ulu mencapai masa kejayaannya. Pemerintah Marga mampu membangun balai pengobatan, membangun sekolah, madrasah, pasar dan sarana perhubungan jalan serta sekaligus menggaji pegawai Marga yang diangkat oleh Pemerintah.
Pada masa itu, mobil-mobil produksi Eropa mampu dibeli oleh masyarakat. Bukti-bukti terdapatnya mobil tua hingga kini masih dapat ditemukan dengan adanya beberapa kerangka sasis mobil di Pelabuhan Dagang. Di bidang perumahan, masyarakat ketika itu telah mampu membangun rumah dengan pondasi beton. Bangunan tua itu hingga kini masih dapat ditemukan di sejumlah desa dalam Kecamatan Tungkal Ulu dan Merlung. Lebih jauh tentang kejayaan ekonomi ini akan diungkapkan pada bab berikutnya.
Di bidang pendidikan, sebagai dampak Politik Etis Pemerintah Hindia Belanda, telah pula dibangun sekolah desa 3 (tiga) tahun yang untuk Onderafdeling Jambi terdapat di 3 (tiga) tempat masing-masing di Muara Jambi Marga Marosebo, di Rantau Rasau Marga Berbak dan di Penyabungan Marga Tungkal Ulu. Pada tahun 1932 sekolah tersebut ditutup sebagai dampak depresi ekonomi (malaise) di seluruh dunia.
Di bidang infrastruktur jalan, pada tahun 1936 pemerintah Kolonial Belanda telah pula membangun sejumlah jalan yang dapat dilalui mobil. Barangkali inilah awal terdapatnya hubungan darat antara Tungkal Ulu dan Jambi, setelah sebelumnya pernah dirintis semasa perjuangan Raden Mattahir dalam menentang Belanda.
D. Terbentuknya Onderdistrik/Asisten Wedana/Kecamatan Tungkal Ulu
Dengan telah terbentuknya Keresidenan Jambi, pemerintah Hindia Belanda segera menjalankan pemerintahan dengan membagi Keresidenan Jambi dalam dua Afdeling yang dikepalai seorang Asisten Residen yang disebut juga Kontrolir. Di Jambi terdapat dua Afdeling yaitu :
- Afedling Jambi Hilir ;
- Afdeling Jambi Hulu.
Selanjutnya Afdeling Jambi Hilir terdiri dari 3 (tiga) Onder Afdeling atau Distrik yang dikepalai seorang Demang atau Wedana, yaitu :
- Onder Afedling/Distrik/Kewedanaan Kota Jambi,
- Onder Afdeling/Distrik/Kewedanaan Muara Tembesi
- Onder Afdeling/Distrik/Kewedanaan Kuala Tungkal.
Distrik Kuala Tungkal selanjutnya membawahi dua marga yaitu :
- Marga Tungkal Ilir berkedudukan di Kuala Tungkal,
- Marga Tungkal Ulu berkedudukan di Merlung.
Sementara itu, pada tahun 1922, sebagaimana digambarkan dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional daerah Jambi, pada tahun 1922 Asisten Residen jambi Hilir membawahi tiga onderafdeling yaitu Onder afdeling Kota Jambi, Onderafdeling Muara Tembesi, dan onderafdeling Taman Raja Tungkal Ulu.
Sampai sejauh itu, belum dapat diketahui apakah Tungkal Ulu juga sudah berstatus onderdistrik. Berdasarkan catatan A Mukti Nasrudin, pada tahun 1931 untuk kewedanaan/Distrik Kuala Tungkal terdapat 2 (dua) buah onderdistrik yaitu Onder Distrik Tungkal yang membawahi :
- Marga Tungkal Ulu
- Marga Tungkal Ilir, dan
Onderdistrik Muara Sabak yang membawahi :
- Marga Muara Sabak,
- Marga Dendang,
- Marga Berbak.
Catatan yang terhimpun dalam Buku Tungkal Ulu dalam Angka, menyebutkan bahwa pejabat setingkat Camat/Asisten Wedana/Kepala Onderdistrik dimulai pada tahun 1940. Itu artinya 9 (sembilan) tahun dari tahun 1931 barulah Tungkal Ulu menjadi suatu onderdistrik.
Onderdistrik Muara Sabak mengkoordinir 3 (tiga) marga, maka onderdistrik Tungkal Ulu dan Onderdistrik Tungkal Ilir hanya memiliki masing-masing 1 (satu) Marga. Kedudukan Asisten Wedana Tungkal Ilir adalah di Kuala Tungkal sama dengan kedudukan Wedana Pasirah. Sedangkan kedudukan Asisten Wedana Tungkal Ulu adalah di Pelabuhan Dagang, bukan di Merlung.
Salah satu alasan yang mungkin dapat dikemukakan adalah bahwa Pelabuhan Dagang terletak lebih di Ilir Sungai Pengabuan, sehingga lebih mudah dicapai oleh Pemerintah Belanda dari Kuala Tungkal. Kala itu, hubungan lalu lintas yang paling cepat dicapai adalah melalui sungai.
Adapun nama-nama pejabat yang pernah menjabat jabatan Assiten Wedana/Camat Tungkal Ulu sejak pertama sampai sekarang adalah seperti tergambar dalam tabel berikut :
Tabel 3
Nama-nama Camat Tungkal Ulu
No. Tahun Nama
1. 1940 s/d 1945 Zakaria
2. 1945 s/d 1946 Abdul Muhib
3. 1946 s/d 1947 Maksum Siregar
4. 1947 s/d 1950 Anang Machri
5. 1950 s/d 1952 Maksum Siregar
6. 1952 s/d 1953 Moh. Zein
7. 1953 s/d 1955 Abdul Hamid
8. 1955 s/d 1957 H Syamsudin
9. 1957 s/d 1958 Raden Nateng
10. 1958 s/d 1960 Kemas Zainal Abidin Dencik
11. 1960 s/d 1963 A. Yani
12. 1963 s/d 1966 Kemas Saman
13. 1966 s/d 1969 Hasan Imron
14. 1969 s/d 1970 Syaefudin Sani, BA
15. 1970 s/d 1972 Zainal Abidin, BA
16. 1972 s/d 1974 M. Ali Yacob, BA
17. 1974 s/d 1976 Ilyas Hasan, BA
18. 1976 s/d 1983 Syamsir Nurdin, BA
19. 1983 s/d 1984 Muchtar Muis, BA
20. 1984 s/d 1988 A Gafar Masdar, BA
21. 1988 s/d 1991 A Khalik Rahman, BA
22. 1991 s/d 1994 Drs. Sudirman Jusia
23. 1994 s/d 1996 Ismail Sofi, BA
24. 1996 s/d 1998 Drs. Lazwardi. AN
25. 1998 s/d 2001 Drs. Raden Erwansyah
26. 2001 s/d 2005 Edward, BA
27. 2005 Drs. Iswardi
Sumber : Tungkal Ulu dalam Angka
D. Masa Revolusi Fisik sampai Terbentuknya Propinsi Sumatera Tengah
Setelah terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta, pemerintah segera melakukan restrukturisasi atas pemerintahan di daerah. Sumatera menjadi satu propinsi dengan Gubernur Tengku Moh. Hasan. 10 (sepuluh) keresidenan di Pulau Sumatera tetap dipertahankan dengan menunjuk pejabat Residen yang baru. Residen Jambi yang pertama adalah Dokter Sagaf Yahya yang kemudian digantikan oleh Raden Inu Kertapati.
Pada tanggal 28 s/d 31 Mei 1946, diadakan Musyawarah Komite Nasional Indonesia se daerah Jambi yang dihadiri oleh 2 (dua) orang utusan dari tiap Kewedanaan. Pertemuan ini menghasilkan keputusan membentuk dewan Perwakilan Rakyat Daerah Keresidenan Jambi dengan anggota sebagai mana tertuang dalam tabel berikut :
Tabel 4
Nama-nama Anggota DPR Keresidenan Jambi Berdasarkan Kewedanaan
No. Nama Kewedanaan
1. Dr. Syahrial Usman Muara Tebo
2. KH. Abu Bakar Muara Tebo
3. H. Mohd. Daud Muara Tebo
4. H. Hanafi Muara Bungo
5. H. Ahmad Muara Bungo
6. M. Ali Muara Bungo
7. M. Saidi Bangko
8. Abi Hasan Bangko
9. Ibrahim Bangko
10. Syamsu Bahrun Sarolangun
11. Ahmad Syarnubi Sarolangun
12. A Madjid Batu Muara Tembesi
13. M. Tajib Muara tembesi
14. AM. Umar Muara Tembesi
15. M.Salim Hasan Kuala Tungkal
16. M Tayib Fahrudin Tungkal Ulu
17. St. Mulia Muara Sabak
18. Jangcik Jambi
19. A Chalik Sulaiman Jambi
20. R Sudarsono Bajubang
21 Ny Habsah Arbain Jambi
22. A Chatab Jambi
23. F Saleh Jambi
24. H. Ali Hamzah Jambi
25. Moh. Djakfar Jalil Jambi
26. Jusuf Helmi Jambi
27. Rd Hamzah Jambi
Sumber : SKM Mediator Edisi 19-24 Agustus 2004
Dari 27 orang tersebut terdapat nama MT Fahrudin, Pasirah Marga Tungkal Ulu pada masa itu mewakili Tungkal Ulu, padahal pada waktu itu Tungkal Ulu masih merupakan salah satu Marga dalam kewedanaan Kuala Tungkal. Itu berarti bahwa, masing-masing Marga dalam kewedanaan Kuala Tungkal mengutus 1 (satu) orang wakilnya untuk duduk sebagai anggota DPR Keresidenan Jambi.
Hal yang juga yang dilakukan oleh Rd Inu Kertapati selain menata pemerintahan adalah membentuk Tentara Keamanan Rakyat Teritorial Jambi dengan Komandannya Kol. Abunjani. Selanjutnya dibentuk Brigade Garuda Putih dengan komandan Kol. Abunjani, yang membawahi empat Batalyon. Salah satu Batalyonnya adalah Batalyon I yang berkedudukan di Kuala tungkal dengan komandan Letkol Harun Sohar yang kelak menjadi Panglima Kodam Sriwijaya.
Sebagai sebuah daerah pedalaman sungai dimana hubungan darat belum lancar seperti sekarang ini, maka Tungkal Ulu bukanlah tempat yang terlalu penting bagi Belanda untuk diduduki. Keadaan ini berbeda dengan ketika pertamakali Belanda masuk Jambi karena ketika itu Kuala Tungkal belum seramai saat revolusi fisik. Penguasaan atas Tungkal Ulu menjadi penting bagi Belanda karena itu dapat menjadi pintu masuk ke Sungai Bengkal dan Muara Tebo.
Dalam papernya, A Mukti Nasrudin menggambarkan keadaan serangan tentara Belanda atas kedudukan TNI di Kuala Tungkal pada tanggal 23 Desember 1948, Tungkal Ulu dijadikan basis TNI khususnya Batalyon Gatotkaca. Kejadian penting sekitar mempertahankan kemerdekaan di Tungkal Ulu adalah pada tanggal 6 Mei 1949, Merlung diserang dari udara dengan dua buah bomber. Bom pertama meledak dan menghancurkan rumah Pasirah MT Fahrudin. Pesawat tempur Belanda yang membawa 17 buah bom tidak semuanya diledakkan, dan sebagian jatuh ke Sungai Pengabuan. Dalam serangan tersebut, Aida anak Pasirah MT Fahrudin dan Amir Latif tewas dan dimakamkan sebagai bunga bangsa.
Dalam bidang pemerintahan, berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1948, Keresidenan Jambi bersama Keresidenan Riau dan Sumatera Barat digabungkan dalam satu Propinsi Sumatera Tengah. Struktur Pemerintahan Dalam Propinsi Sumatera Tengah terdiri dari 3 (tiga) keresidenan. Sedangkan Keresidenan Jambi terdiri dari 2 (dua) kabupaten yaitu Kabupaten Merangin dan Kabupaten Batanghari.
Selanjutnya, Kabupaten Batanghari dengan ibukota di Jambi terdiri dari 3 (tiga) Kewedanaan yaitu Kewedanaan Muara Tembesi, Kewedanaan Kuala Tungkal dan Kewedanaan Muara Sabak. Kewedanaan Kuala Tungkal terdiri dari 2 (dua) kecamatan yaitu : Kecamatan Tungkal Ulu dan Kecamatan Tungkal Ilir.
Dalam versi lain, disebutkan bahwa kewedanaan dalam Kabupaten Batanghari terdiri dari :
- Kewedanaan Tengubuan berkedudukan di Kuala Tungkal,
- Kewedanaan Sabak berkedudukan di Muara Sabak,
- Kewedanaan Kumpeh berkedudukan di Arang-arang,
- Kewedanaan Tembesi berkedudukan di Muara Tembesi
Adapun dusun-dusun yang terdapat dalam Kecamatan Tungkal Ulu adalah sama dengan dusun yang terdapat dalam Marga Tungkal Ulu yaitu :
1. Pelabuhan Dagang
2. Pematang Pauh
3. Tanjung Tayas
4. Badang
5. Suban
6. Dusun Kebon
7. Tanjung Bojo
8. Kampung Baru
9. Lubuk Bernai
10. Taman Raja
11. Tebing Tinggi
12. Merlung
13. Penyabungan
14. Lubuk Terap
15. Rantau Benar
16. Pulau Pauh
17. Sungai Rotan
18. Lubuk Kambing
19. Tanjung Paku
20. Dusun Mudo
21. Rantau Badak
22. Kuala Dasal
Pelabuhan Dagang sebagai ibukota Kecamatan Tungkal Ulu dan Taman Raja yang ketika itu bernama Pekan pada masa tersebut merupakan pelabuhan atau pasar penting di daerah aliran Sungai Pengabuan. Sebuah peta yang diterbitkan pada tahun 1932 menunjukkan lokasi Taman Raja sebagai dua tempat yang sama dengan Kuala Tungkal sebagai tempat yang penting. Saksi sejarah menggambarkan bahwa di Pelabuhan Dagang ketika itu telah berdiri toko-toko dan kedai kopi. Di antara para pedagang tersebut terdapat pula beberapa orang keturunan China. Sebuah pekuburan umum orang-orang China di Pelabuhan Dagang menjadi saksi kejayaan Pelabuhan Dagang tempo dulu.
Walaupun Kecamatan Tungkal Ulu berada di bawah kewedanaan Kuala Tungkal, perhubungan dengan Kuala Tungkal hanya dilakukan dalam bidang perdagangan. Dalam bidang pemerintahan, perhubungan yang terjadi lebih banyak dilakukan antara Pelabuhan Dagang Jambi dan Merlung Jambi. Hal ini dikarenakan hubungan Marga dan Kecamatan memang berada di bawah Kabupaten. Peranan kewedanaan tidak lebih dari sekedar perpanjangan tangan Pemerintah Kabupaten semacam Pembantu Bupati di zaman Pemerintahan Orde Baru.
E. Dalam Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Propinsi Jambi Sampai Dihapuskannya Pemerintahan Marga
Pada tahun 1957, melalui Undang-undang Darurat No. 19 Tahun 1957 Propinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi 3 (tiga) propinsi yaitu Propinsi Jambi, Riau dan Sumatera Barat. Karena itu, hari lahir Propinsi Jambi diperingati pada tanggal 6 Januari 1957. Pemerintahan ketiga propinsi baru ini baru efektif dimulai pada tahun 1958 dengan keluarnya UU No. 61 Tahun 1958. Karenanya, Propinsi Riau dan Sumatera Barat memperingati hari jadinya pada tanggal 2 Juli 1958.
Propinsi Jambi yang baru berdiri itu terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten yaitu 2 (dua) Kabupaten dalam Keresidenan Jambi yakni Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Merangin ditambah 1 (satu) Kabupaten Kerinci. Marga dan Kecamatan Tungkal Ulu sebagaimana sebelumnya berada dalam Kabupaten Batanghari.
Bersamaan dengan berdirnya Propinsi Jambi, telah pula dibangun jalan dari Merlung ke Jambi pada tahun 1959. Pengguntingan pita sebagai peresmian jalan tersebut dilakukan oleh Panglima Kodam Sriwijaya Mayjen Harun Sohar sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa rakyat Merlung khususnya dan Tungkal Ulu umumnya dalam pembelaan terhadap bangsa di masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan.
Sebagai akibat terbentuknya Propinsi Jambi dilakukan pula pemekaran Kabupaten. Kabupaten Batanghari dipecah menjadi 3 (tiga) yaitu :
- Kotapraja Jambi
- Kabupaten Batanghari dengan ibukota di Kenali Asam
- Kabupaten Tanjung Jabung dengan ibukota di Kuala Tungkal.
Kabupaten tanjung Jabung yang baru berdiri ini terdiri dari empat kecamatan yaitu, Kecamatan tungkal Ilir, Kecamatan Tungkal Ulu, Kecamatan Muara Sabak dan Kecamatan Nipah Panjang.
Bagi Tungkal Ulu, tidak banyak yang berubah dengan terbentuknya Kabupaten Tanjung Jabung diresmikan dengan Undang-undang No. 7 tahun 1965 pada tanggal 14 Juni 1965. Yang berubah adalah kedudukan ibukota Propinsi dari Bukittinggi menjadi Jambi dan kedudukan ibukota Kabupaten dari Jambi menjadi Kuala Tungkal. Karena hubungan darat yang sulit antara Tungkal Ulu dan Jambi saat itu, pembentukan Kabupaten dengan perpindahan ibukota terasa menguntungkan.
Dengan berubahnya pusat pemerintahan Kabupaten, perhubungan darat antara Tungkal Ulu dengan Jambi menjadi ditinggalkan. Perhubungan melalui Sungai Pengabuan menjadi sangat penting dan ramai, walaupun jarak tempuh melalui sungai dengan menggunakan kapal motor pompong memakan waktu dua malam satu hari. Perhubungan ke Jambi pun ditempuh melalui jalur laut dari Kuala Tungkal-Kampung Laut-Jambi. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang menggunakan jalur darat Jambi-Merlung untuk mencapai Jambi. Jalan darat yang semula dibangun Pemerintah ini terpelihara dengan kondisi terbatas karena digunakan oleh Perusahaan Perkayuan seperti Tanjung Jati, Budiman dan Heeching Timber Industry.
Dengan waktu tempuh yang lama, ditambah menurunnya kwalitas dan kwantitas produksi karet di Tungkal Ulu, Tungkal Ulu menjadi makin ditinggalkan. Lengkaplah kesengsaraan dan keterbelakangan yang dialami masyarakat ketika itu, sudah miskin terisolasi pula.
Kepayahan ini makin bertambah parah ketika Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang serta merta menghapuskan Pemerintahan Marga, setelah sebelumnya pada tahun 1951, Pemerintah melalui Undang-undang Darurat Tahun 1951 menghapuskan segala bentuk Peradilan Adat termasuk Peradilan Adat Marga.
Wewenang pengangkatan dan penggajian pegawai dialihkan menjadi wewenang Pemerintah Kabupaten. Akibatnya, banyak instansi pemerintah yang kekurangan tenaga, karena banyak pegawai tidak mau ditempatlkan di Tungkal Ulu, karena selain jauh dianggap terkebelakang. Orang dari luar Tungkal Ulu dihinggapi semacam phobia Tungkal Ulu. Dikatakan masyarakat Tungkal Ulu penuh magis dan mampu membunuh orang dengan racun. Sekolah menjadi kekurangan guru, balai pengobatan kekurangan tenaga, dan lain-lain sebagainya.
Maksud sebenarnya yang terkandung dari Undang-undang No. 5 Tahun 1979 adalah menyeragamkan bentuk kesatuan masyarakat terkecil dalam nama Desa sebagaimana yang terdapat di Jawa. Itu artinya, Marga otomatis berubah menjadi Desa dengan struktur pemerintahan ke bawah tetap. Namun, satu kesalahan besar terlanjur dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jambi ketika itu dengan mengubah status dusun yang merupakan bagian dari Marga menjadi Desa. Sebagai akibat dari kebijakan ini, di Tungkal Ulu dari satu Marga berubah menjadi 22 Desa dalam wilayah Kecamatan Tungkal Ulu.
Hal yang sama juga terjadi di Sumatera Selatan, Dalam pandangan Prof Amrah Muslimin, jalan pikiran itu diambil oleh Pemerintah daerah dapat menambah untung daerah dalam hal penerimaan setiap tahun dana banpres yang dihitung berdasarkan jumlah Desa.
Dengan keadaan itu, memang terjadi penambahan jumlah Desa di Tungkal Ulu, tetapi hal tersebut sekaligus juga membuat miskin Desa-desa yang semula hanya berstatus Dusun di bawah Marga. Keadaan ini terus berlangsung sampai saatnya Tungkal Ulu dewasa ini dijadikan pusat perkebunan sawit.
F. Pemekaran Kecamatan Tungkal Ulu
Satu hal penting yang merupakan awal dari terbukanya keterisolasian Tungkal Ulu adalah ketika di Tungkal Ulu tepatnya di Taman Raja didirikan base camp perusahaan plywood PT Sumatera Timber Utama Damai (STUD). PT STUD melakukan pelebaran jalan untuk kepentingan perusahaan, tetapi dampaknya dapat dirasakan juga oleh penduduk. Dengan membaiknya kondisi jalan darat, perlahan-lahan produksi karet mulai dijual ke Jambi.
Pada tahun 1984, Pemerintah memulai proyek besar yaitu membangun Jalan Lintas Timur Sumatera, khususnya rute Jambi Pekanbaru yang melewati darerah Tungkal Ulu. Seiring dengan dimulainya proyek tersebut, Pemerintah Propinsi Jambi yang ketika itu dipimpin Gubernur Masjchun Sofwan bersama Bupati Tanjung Jabung Selamat Barus terinspirasi membangun jalan darat Jambi Kuala Tungkal.
Perlahan tapi pasti, Tungkal Ulu makin terbuka dari keterisolasian. Sudah mulai ada mobil penumpang umum yang membawa penumpang Pelabuhan Dagang-Jambi. Dengan kondisi jalan tanah, mobil terpaksa bermalam di jalan jika hujan. Waktu tempuh normal Jambi Pelabuhan Dagang ketika itu adalah 5 (lima) jam.
Selanjutnya, pada tahun 1985, berdasarkanSurat mendari Nomor 138/1589/PUOD Tanggal 25 April 1985 dan SK Gubernur KDH Tingkat I Jambi No. 233 Tahun 1985 tanggal 22 Juli 1985, Pemerintah Propinsi Jambi melakukan pemekaran kecamatan. Di Tungkal Ulu, Merlung dibentuk menjadi satu perwakilan kecamatan dengan Kepala Perwakilan Kecamatan yang pertama Edward, BA.. Kecamatan Merlung terdiri dari 10 desa dan Tungkal Ulu 12 desa/kelurahan.
Sungguhpun demikian, semuanya itu seperti jalan di tempat. Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur Sumatera baru selesai tahun 1991, dan Perwakilan Kecamatan Merlung baru resmi menjadi Kecamatan pada tahun 2000 melalui Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2000. Pada saat diresmikan sebagai kecamatan defenitif, Merlung memiliki 19 desa atau bertambah 9 dari desa semula saat dibentuk sebagai kecamatan perwakilan, sedangkan desa di KecamatanTungkal Ulu saat ini berjumlah 14 atau bertambah 2 dari saat pemekaran dengan Kec. Merlung. Sampai hari ini, nama-nama yang pernah menjabat Kepala Perwakilan Kecamatan/Camat di Kec. Merlung adalah :
Tabel 5
Nama-nama Kepala perw.Kecamatan/Camat Merlung
No. Tahun Nama
1. 1985 s/d 1990 Edward, BA
2. 1990 s/d 1994 Drs. Abdurrahman
3. 1994 Drs. Moh. Ali
4. 1994 s/d 1996 Drs. Lazwardi. AN
5. 1996 s/d 1998 Drs. R. Erwansyah
6. 1998 s/d 2000 Drs. Endang Surya
7. 2000 s/d 2001 Drs. Encep Jarkasih
8. 2001 s/d 2003 Drs. Kosasih
9. 2003 s/d 2005 Mudiarman
10. 2005 Samsul Kurnanin, BA
Sumber : Kecamatan Merlung dalam Angka, BPS Kab. Tanjab Barat
Dewasa ini, wilayah Tungkal Ulu sekarang resmi terdiri dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Merlung dan kecamatan Tungkal Ulu. Seiring dengan makin terbukanya akses transportasi melalui Jalan Lintas Timur Sumatera, Tungkal Ulu seakan menjadi primadona bagi investor untuk menanamkan modalnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka pada tahun 1994 berdiri pabrik pengolahan kertas dan pulp di Desa Tebing Tinggi Tungkal Ulu menyusul hadirnya perusahaan-perusahaan yang telah dulu ada di Tungkal Ulu. Sejalan dengan itu, terjadi pertumbuhan penduduk mencapai angka 7,2 di wilayah Kecamatan Tungkal Ulu.
Seiring dengan bergulirnya reformasi, di bidang pemerintahan daerah dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1999, yang memungkinkan adanya pemekaran kabupaten. Dalam Propinsi Jambi, pada tahun itu juga dilakukan pemekaran Kabupaten dari 5 kabupaten menjadi 9 kabupaten. Kabupaten Tanjung Jabung dibagi dua menjadi Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang beribukota di Muara Sabak dan Kabupaten Tanjung Barat dengan ibukota Kuala Tungkal berdasarkan UU No. 54 Tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999.
Dengan terpisahnya daerah eks kewedanaan Muara Sabak dengan eks kewedanaan Kuala Tungkal, semestinya nama kabupaten yang beribukota di Kuala Tungkal tidak lagi tepat memakai nama Tanjung Jabung, karena Tanjung Jabung yang sebenarnya berada dalam wilayah eks kewedanaan Muara Sabak yang kini bernama Tanjung Jabung Timur. Nama yang tepat untuk kabupaten eks kewedanaan Kuala Tungkal adalah “Kabupaten Tungkal”.
Terlepas dari soal nama, pemisahan Kabupaten menjadi dua dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat Tungkal Ulu. Wilayah pelayanan publik dan jangkauan kendali pemerintahan menjadi lebih terfokus. Dengan sendirinya, prioritas pembangunan menjadi lebih terarah kepada kepentingan masyarakat. Wilayah Tanjung Jabung Barat menjadi wilayah yang komplet karena memiliki wilayah laut sekaligus darat sampai berbukit-bukit.
Satu-satunya kabupaten di Propinsi Jambi yang memiliki sekaligus dua bentuk alam yang berbeda adalah Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Konsekwensinya adalah bahwa ternyata Kabupaten Tanjung Jabung Barat memiliki akses perhubungan laut melalui Pelabuhan Kuala Tungkal sekaligus akses hubungan darat melalui Jalan Negara Lintas Timur Sumatera yang terbentang di wilayah Kecamatan Merlung dan Tungkal Ulu.
Perbedaan keadaan alam antara kedua wilayah dalam Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang bertolak belakang satu sama lain antara wilayah eks Marga Tungkal Ilir dengan eks Marga Tungkal Ulu memberi warna tersendiri bagi pengelolaan kekayaan alam di kedua wilayah. Jika Tungkal Ilir dijadikan sentra produksi kelapa dan padi, Tungkal Ulu dijadikan sentra perkebunan sawit dan karet.
Namun ironisnya, potensi yang dimiliki kedua wilayah seakan terpisah satu sama lainnya, seolah-olah berdiri pada masing-masing posisi. Hubungan melalui sungai yang tidak mungkin lagi dipertahankan ternyata tidak diikuti dengan pembangunan akses melalui darat. Saat ini, perjalanan darat dari Merlung dan Pelabuhan Dagang menuju Kuala Tungkal harus ditempuh dalam tempo yang lebih lama daripada hubungan menuju Jambi dan harus melalui wilayah 2 (dua) kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Satu-satunya akses melalui perhubungan darat yang lebih cepat hanya dapat dilalui melewati jalan tembus Simpang Abadi-Sungai Tapah, Kuala Dasal-Pelabuhan Dagang, yang sampai hari ini dibiarkan menjadi jalan tanah tanpa terlihat ada upaya nyata untuk melakukan pengaspalan jalan oleh Pemerintah Daerah.
Di sisi lain, sebagai konsekwensi bertambah pesatnya pertumbuhan penduduk, maka pada tahun 2004 diresmikan Markas Kepolisian Sektor Tebing Tinggi. Ini merupakan awal diresmikannya Tebing Tinggi menjadi kecamatan ketiga dalam wilayah Tungkal Ulu.
G. Kesimpulan Sejarah
Akhirnya, sebagai penutup dari bab ini, berdasarkan sumber-sumber dan uraian-uraian di atas dapatlah kita peroleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Nama Tungkal yang kita kenal sekarang berasal dari Kuntala yang berubah berdasarkan transliterasi China menjadi Tungkal, yaitu kerajaan yang berdiri di pantai timur Sumatera kira-kira tahun 456-464. Tahun-tahun berikutnya Kerajaan Kuntala tunduk pada Melayu, Sriwijaya, Singosari dan Majapahit. Namun demikian, tahun 1368 nama Kuntala muncul kembali dalam berita China.
2. Lokasi ibukota Kerajaan Kuntala diperkirakan di Daerah Taman Raja sekarang, karena Kuala Sungai Pengabuan/Tungkal dulu adalah di sekitar Taman Raja, sebelum terjadinya pendangkalan laut yang menyebabkan daratan menjadi lebih luas seperti yang kita kenal sekarang. Sumber sejarah China menyebutkan bahwa di kuala sungai Pengabuan terdapat Teluk Wen, yaitu teluk yang berada antara Kuntala dan Chan-Pei (Jambi) atau Malayu.
3. Sekitar tahun 1400 atau abad ke-15, orang-orang Pagaruyung yang telah memeluk Agama Islam datang ke Tungkal melalui Retih dan Kuantan, Riau, dan menemukan sekelompok masyarakat peninggalan kejayaan Kerajaan Kuntala. Mereka berbaur dan mendirikan pemerintahan dengan mengacu kepada bentuk pemerintahan di Minangkabau dengan beberapa pengecualian dengan Datuk Malin Andiko sebagai kepala pemerintahan.
4. Tungkal didatangi orang Johor, sampai kemudian Tungkal menjadi daerah taklukan yang wajib mengirim upeti kepada Sultan Johor.
5. Sebelum Tahun 1512-1515, Sultan Johor membebaskan Tungkal dari kewajiban membayar upeti atas kecerdasan Lamsasti, seorang anak yang ditemukan Datuk Malim Andiko dalam perahu yang terapung-apung. Diperkirakan, keputusan tersebut didorong oleh kenyataan bahwa Lamsasti adalah anak Sultan Johor dan adanya kemungkinan bahwa saat itu Johor sudah dibawah pengaruh Malaka, yang ketika itu menjadi pelabuhan dan kerajaan dagang terpenting di Selat Malaka.
6. Tahun 1512-1515, Tungkal menjadi negeri sendiri tetapi tidak mempunyai raja, yang berada dalam pengaruh Johor. Nama Tungkal disebut sebagai salah satu bangsa yang telah melakukan perdagangan di Malaka.
7. Tahun 1516 sampai seterusnya, diperkirakan Tungkal berada dalam pengaruh Sultan Jambi. Sejarah Jambi mencatat tahun 1630 sebagai tahun dimana Sultan Jambi menolak menyerahkan Tungkal kepada Malaka.
8. Antara Tahun 1855 s/d 1881 di masa pemerintahan Sultan Ahmad Nazarudin di Jambi, Tungkal berada di bawah kesultanan Jambi dan diangkat pejabat pemerintah Kesultanan di Tungkal. Pada masa itu pula Sultan Jambi memerintahkan Mantri Berangas untuk membuka daerah Tungkal Ilir sekarang menjadi pemukiman penduduk, setelah sebelumnya Tungkal wilayah Ilir telah pula dihuni Suku Melayu asal Brunai.
9. Tahun 1904, Jambi resmi menjadi jajahan Belanda, sejak saat itu dengan sendirinya Tungkal menjadi jajahan Belanda. Saat inilah yang diperkirakan mnucul pertamakalinya istilah Tungkal Ulu dan Tungkal Ilir untuk membedakan daerah ilir dan ulu berkaitan dengan pembentukan Marga.
Tahun-tahun sejarah Tungkal Ulu tersebut dapat digambarkan dalam urut-urutan sebagaimana tergambar dalam tabel berikut :
Tabel 6
Urut-urutan Sejarah Tungkal
Perkiraan Tahun Peristiwa
456 s/d 464 Berdiri Kerajaan Kuntala atau Kandoli
464 s/d abad ke-14 Kerajaan Kuntala takluk di bawah Kerajaan lainnya, seperti Melayu, Sriwijaya, Singosari dan Majapahit
Tahun 1368 Berita tentang Kuntala muncul lagi dalam Sejarah Cina
Th 1400/Abad ke-15 Orang Minangkabau memasuki wilayah Tungkal dan berbaur dengan masyarakat peninggalan Kerajaan Kuntala
Tahun 1500 Orang Minangkabau bersama penduduk sebelumnya membentuk suatu pemerintahan sendiri, yang takluk di bawah Kesultanan Johor.
Tahun 1512-1515 Tungkal dibebaskan dari taklukan Johor dan menjadi negeri yang memerintah sendiri tetapi tidak berbentuk kerajaan, namun berada dalam pengaruh Malaka.
Tahun 1600 s/d 1630 Diperkirakan Tungkal menjadi wilayah yang berada di bawah pengaruh Kesultanan Jambi
Tahun 1630 Jambi menolak menyerahkan Tungkal kepada Malaka.
Tahun 1855 s/d 1881 Sultan Jambi menunjuk wakilnya untuk memerintah di Tungkal
Tahun 1881 s/d 1904 Menjadi bagian utuh dari Kesultanan Jambi
Tahun 1904 s/d 1942 Di bawah Kekuasaan Kolonial Belanda
Tahun 1942 s/d 1945 Di bawah Pendudukan Jepang
Tahun 1945 s/d 1948 Dalam wilayah Kab. Batanghari Prop. Sumatera
Tahun 1948 s/d 1957 Dalam wilayah Kab. Batanghari Propinsi Sumatera Tengah
Tahun 1957 s/d 1965 Dalam wilayah Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi
Tahun 1965 s/d 1999 Dalam wilayah Kabupaten Tanjung Jabung
Th 1999 s/d sekarang Dalam wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Sumber : Data Pembka Tanjabbar
Sumber : Data Pembka Tanjabbar
Post a Comment